Buton dan Tradisi Pernaskahan

Awal mula terjadinya negeri Buton diwarnai dengan mitos, yang berfungsi membentuk suatu pandangan dunia kosmosentris dalam menentukan gambaran-gambaran tentang waktu, ruang, dan masyarakat. Buton sebagai negara kerajaan berlangsung selama lebih dua abad (1327-1541) dan kemudian berlanjut dengan er...

Full description

Bibliographic Details
Main Author: Ali Rosdin
Format: Article
Language:English
Published: Institut Alam dan Tamadun Melayu, UKM 2015
Subjects:
Online Access:http://journalarticle.ukm.my/8547/
http://journalarticle.ukm.my/8547/
http://journalarticle.ukm.my/8547/1/Buton_dan_tradisi_pernaskahan.pdf
Description
Summary:Awal mula terjadinya negeri Buton diwarnai dengan mitos, yang berfungsi membentuk suatu pandangan dunia kosmosentris dalam menentukan gambaran-gambaran tentang waktu, ruang, dan masyarakat. Buton sebagai negara kerajaan berlangsung selama lebih dua abad (1327-1541) dan kemudian berlanjut dengan era kesultanan selama lebih dari empat abad (1541-1960). Selama era kerajaan, masyarakat Buton belum mengenal aksara dan tradisi tulis-menulis. Tampaknya, tradisi penulisan naskhah lahir pada era kesultanan, seiring dengan proses Islamisasi oleh para ulama yang memperkenalkan tradisi baca-tulis dengan aksara Arab, yang kemudian dimodifikasi menjadi aksara Buton (Buri Wolio). Kesultanan yang di bangun dengan landasan ajaran agama Islam dan tasawuf ini menerapkan ajaran “martabat tujuh” di dalam struktur kekuasaan pemerintahan. Tradisi pernaskahan ini mencapai puncak keemasan pada masa Sultan XXIX La Ode Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851), yang dilembagakan dalam sekolah Zawiah. Kini, sekitar 340 buah naskhah terdapat dalam pernaskahan Buton, yang sebahagian besar terdapat pada koleksi Abdul Mulku Zahari. Selain itu, naskhah-naskhah Buton masih dapat ditemukan pada berbagai koleksi peribadi lain, yang jumlahnya sulit ditentukan karena berbagai alasan.